Selasa, 04 Oktober 2011

TRADISI TAWURAN


TRADISI TAWURAN

Tawuran pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi
masyarakat. Prilaku tawuran pelajar bukan hanya
mengakibatkan kerugian harta benda atau korban
cedera tapi sudah merenggut ratusan nyawa melayang
sia-sia selama sepuluh tahun terakhir.
Tawuran pelajar beberapa pekan lalu kembali memanas. Para pelajar yang semestinya menjadi garda terdepan generasi penerus bangsa malah mengedepankan kekerasan fisik daripada intelektualitas. Para pelajar mengenakan seragam sekolah tapi bak bergaya preman jalanan. Di antarana main hakim sendiri, merusak fasilitas umum, bahkan saling melukai satu sama lain.
Kasus tawuran pelajar SMA Negeri 6 dengan wartawan menjadi puncaknya. Seorang wartawan dikeroyok sejumlah siswa berseragam dan kaset berisi rekaman peristiwa tawuran juga ikut dirampas.Sontak aksi anarkis siswa SMAN 6 Jakarta ini memunculkan aksi demo yang mengecam tindakan kekerasan di dunia pendidikan. Tidak hanya itu solidaritas juga datang dari para jurnalis yang mengecam agar pelaku penganiayaan terhadap wartawan harus ditindak tegas tanpa pandang bulu. Yang menjadi pertanyaan banyak orang mereka justru melakukan aksi tawuran di lingkungan sekolahnya sendiri. Dimanakah guru dan kepala sekolah mereka ?
Kekerasan tentu saja bukan jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan. Namun jika tawuran selalu terjadi berulang kali dan menjadi sebuah tradisi, tampaknya sudah waktunya pemerintah turut andil. Adakah yang salah dengan dunia pendidikan di Indonesia. Pada akhirnya tawuran hanya akan menghabiskan energi sia-sia tanpa bisa menghasilkan sebuah prestasi melainkan citra negatif nama sekolah.